"Pengertian Telematika"
Di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
Telematika. Kata telematika berasal dari istilah dalam bahasa Perancis
TELEMATIQUE yang merujuk pada bertemunya sistem jaringan komunikasi
dengan teknologi informasi. Istilah telematika merujuk pada hakekat
cyberspace sebagai suatu sistem elektronik yang lahir dari perkembangan
dan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika.
Istilah
Teknologi Informasi itu sendiri merujuk pada perkembangan teknologi
perangkat-perangkat pengolah informasi. Para praktisi menyatakan bahwa
TELEMATICS adalah singkatan dari TELECOMMUNICATION and INFORMATICS
sebagai wujud dari perpaduan konsep Computing and Communication. Istilah
Telematics juga dikenal sebagai {the new hybrid technology} yang lahir
karena perkembangan teknologi digital. Perkembangan ini memicu
perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika menjadi semakin
terpadu atau populer dengan istilah konvergensi. Semula Media masih
belum menjadi bagian integral dari isu konvergensi teknologi informasi
dan komunikasi pada saat itu.
Belakangan baru disadari bahwa
penggunaan sistem komputer dan sistem komunikasi ternyata juga
menghadirkan Media Komunikasi baru. Lebih jauh lagi istilah TELEMATIKA
kemudian merujuk pada perkembangan konvergensi antara teknologi
TELEKOMUNIKASI, MEDIA dan INFORMATIKA yang semula masing-masing
berkembang secara terpisah. Konvergensi TELEMATIKA kemudian dipahami
sebagai sistem elektronik berbasiskan teknologi digital atau {the Net}.
Dalam perkembangannya istilah Media dalam TELEMATIKA berkembang menjadi
wacana MULTIMEDIA. Hal ini sedikit membingungkan masyarakat, karena
istilah Multimedia semula hanya merujuk pada kemampuan sistem komputer
untuk mengolah informasi dalam berbagai medium. Adalah suatu ambiguitas
jika istilah TELEMATIKA dipahami sebagai akronim Telekomunikasi,
Multimedia dan Informatika. Secara garis besar istilah Teknologi
Informasi (TI), TELEMATIKA, MULTIMEDIA, maupun Information and
Communication Technologies (ICT) mungkin tidak jauh berbeda maknanya,
namun sebagai definisi sangat tergantung kepada lingkup dan sudut
pandang pengkajiannya.
Istilah telematika sering dipakai untuk beberapa macam bidang, sebagai contoh adalah:
*
Integrasi antara sistem telekomunikasi dan informatika yang dikenal
sebagai Teknologi Komunikasi dan Informatika atau ICT (Information and
Communications Technology). Secara lebih spesifik, ICT merupakan ilmu
yang berkaitan dengan pengiriman, penerimaan dan penyimpanan informasi
dengan menggunakan peralatan telekomunikasi.
* Secara umum, istilah
telematika dipakai juga untuk teknologi Sistem Navigasi/Penempatan
Global atau GPS (Global Positioning System) sebagai bagian integral dari
komputer dan teknologi komunikasi berpindah (mobile communication
technology).
* Secara lebih spesifik, istilah telematika dipakai
untuk bidang kendaraan dan lalulintas (road vehicles dan vehicle
telematics).
Hukum Telematika dalam sistem Hukum Nasional diatur
dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). . Namun dengan lahirnya UU ITE belum semua
permasalahan menyangkut masalah ITE dapat tertangani. Persoalan tersebut
antara lain dikarenakan : Pertama, dengan lahirnya UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak semata-mata UU ini
bisa diketahui oleh masyarakat pengguna teknologi informasi dan praktisi
hukum. Kedua, berbagai bentuk perkembangan teknologi yang menimbulkan
penyelenggaraan dan jasa baru harus dapat diidentifikasikan dalam rangka
antisipasi terhadap pemecahan berbagai persoalan teknis yang dianggap
baru sehingga dapat dijadikan bahan untuk penyusunan berbagai Peraturan
Pelaksanaan. Ketiga, pengayaan akan bidang-bidang hukum yang sifatnya
sektoral (rejim hukum baru) akan makin menambah semarak dinamika hukum
yang akan menjadi bagian sistem hukum nasional.
Konvergensi Bidang Telematika dan UU ITE
Hasil
konvergensi di bidang telematika salah satunya adalah aktivitas dalam
dunia siber yang telah berimplikasi luas pada seluruh aspek kehidupan.
Persoalan yang muncul adalah bagaimana untuk penggunaannya tidak terjadi
singgungan-singgungan yang menimbulkan persoalan hukum. Pastinya ini
tidak mungkin, karena pada kenyataannya kegiatan siber tidak lagi
sesederhana itu. Kegiatan siber tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori
suatu negara dan aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan
dunia manapun, karena itu kerugian dapat terjadi baik pada pelaku
internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun
misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di
internet.
Meskipun secara nyata kita merasakan semua kemudahan
dan manfaat atas hasil konvergensi itu, namun bukan hal yang mustahil
dalam berbagai penggunaannya terdapat berbagai permasalahan hukum. Hal
itu dirasakan dengan adanya berbagai penggunaan yang menyimpang atas
berbagai bentuk teknologi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa
teknologi informasi digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan,
atau sebaliknya pengguna teknologi informasi dijadikan sasaran
kejahatan. Sebagai contoh misalnya, dari suatu konvergensi didalamnya
terdapat data yang harus diolah, padahal masalah data elektronik
ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke
berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang
diakibatkannya pun bisa demikian cepat, bahkan sangat dahsyat[8].
Pesatnya
perkembangan teknologi digital yang hingga pada akhirnya menyulitkan
pemisahan teknologi informasi, baik antara telekomunikasi, penyiaran dan
teknologi informasi merupakan dinamika konvergensi. Proses konvergensi
teknologi tersebut menghasilkan sebuah revolusi “broadband” yang
menciptakan berbagai aplikasi baru yang pada akhirnya mengaburkan pula
batasan-batasan jenis layanan, misalnya VoIP yang merupakan layanan
turunan dari Internet, Broadcasting via Internet (Radio Internet dan TV
Internet) dsb. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi,
maka pengaturan teknologi informasi tidak cukup hanya dengan peraturan
perundang-undangan yang konvensional, namun dibutuhkan pengaturan khusus
yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari kondisi masyarakat, sehingga
tidak ada jurang antara substansi peraturan hukum dengan realitas yang
berkembang dalam masyarakat. Misalnya untuk kegiatan-kegiatan siber.
Meskipun bersifat virtual, kegiatan siber dapat dikategorikan sebagai
tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang
siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu
dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan
objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu
banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber
adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat
buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus
dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum
secara nyata.
Aplikasi yang sangat banyak dipakai dari kegiatan
siber adalah transaksi-transaksi elektronik, sehingga transaksi secara
online saat ini menjadi issu yang paling aktual. Dan, sebenarnya hal ini
menjadi persoalan hukum semenjak transaksi elektronik mulai
diperkenalkan, disamping persoalan pengamanan dalam sistem informasi itu
sendiri. Tanpa pengamanan yang ketat dan canggih, perkembangan
teknologi informasi tidak memberikan manfaat yang maksimal kepada
masyarakat. Teknologi digital memungkinkan penyalahgunaan informasi
secara mudah, sehingga masalah keamanan sistem informasi menjadi sangat
penting.
Pendekatan keamanan informasi harus dilakukan secara
holistik, karena itu terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan
keamanan di dunia maya, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua
pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum[9]. Untuk
mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak
dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah
disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Satu
langkah yang dianggap penting untuk menanggulangi itu adalah telah
diwujudkannya rambu-rambu hukum yang tertuang dalam Undang-undang
Transaksi dan Informasi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008 yang disebut
sebagai UU ITE). Hal yang mendasar dari UU ITE ini sesungguhnya
merupakan upaya mengakselerasikan manfaat dan fungsi hukum (peraturan)
dalam kerangka kepastian hukum[10].
Dengan UU ITE diharapkan
seluruh persoalan terkini berkaitan dengan aktitivitas di dunia maya
dapat diselesaikan dalam hal terjadi persengketaan dan pelanggaran yang
menimbulkan kerugian dan bahkan korban atas aktivitas di dunia maya.
Oleh karena itu UU ITE ini merupakan bentuk perlindungan kepada seluruh
masyarakat dalam rangka menjamin kepastian hukum, dimana sebelumnya hal
ini menjadi kerisauan semua pihak, khususnya berkenaan dengan munculnya
berbagai kegiatan berbasis elektronik.
Ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam UU ITE meskipun secara umum pengaturannya tetapi cukup
komprihensif dan mengakomodir semua hal terkait dunia siber[11]. Materi
yang diatur dalam UU ITE umumnya merupakan hal baru dalam sistem hukum
kita, hal tersebut meliputi : masalah pengakuan transaksi dan alat bukti
elektronik, penyelesaian sengketa, perlindungan data, nama domain dan
Hak Kekayaan Intelektual, serta bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang
beserta sanksi-sanksinya[12].
Bila dilihat dari sudut pandang
keilmuan, UU ITE memiliki berbagai aspek hukum, sehingga dikatakan
sebagai UU multi aspek, karena banyak memiliki aspek, dan hampir seluruh
aspek hukum diatur. Aspek hukum transnasional, karena jelas-jelas UU
ini mengatur lingkup yang tidak saja di Indonesia tetapi melewati batas
negara. Aspek hukum pidana, mengatur Crime (kejahatan), Aspek Hukum
Perdata yang mengatur transaksi-transaksi di bidang bisnis. Aspek Hukum
Administrasi, karena menyangkut adanya pemberian izin oleh pemerintah
dan aspek hukum acara baik Pidana maupun Perdata[13].
Kita harus
akui bahwa kritikan yang bertubi-tubi juga terjadi pada UU ITE. Beberapa
persoalan tersebut menyangkut kepada : pertama, apakah transaksaksi
dapat berjalan, karena banyak persoalan teknis yang harus disiapkan
khususnya menyangkut pada transaksi dan penyelenggaraan sistem
elektronik; kedua, masalah berkaitan dengan hak asasi manusia dalam
menyampaikan pendapat; dan ketiga, masalah ketentuan sanksi (pidana),
yang dianggap terlalu berlebihan dan memberatkan. Masalah ini perlu kita
perhatikan karena implementasi peraturan (hukum) setidaknya harus dapat
memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat.
Di
samping segala kelebihan dan manfaat dari Internet, penggunaan jaringan
global maya tersebut berpotensi memiliki dampak hukum yang serius dan
diperlukan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah yang timbul
sekaligus mengantisipasi berbagai masalah hukum di masa yang akan
datang. Dengan pendekatan hukum yang saat ini telah berdasar atas UU No.
11 Tahun 2008 tentang ITE, maka UU ITE merupakan bentuk upaya
perlindungan kepada masyarakat. Dan, setidaknya UU ITE mengatur dua hal
yang amat penting, Pertama : pengakuan transaksi elektronik dan dokumen
elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga
kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin. Kedua:
diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya
termasuk untuk tindakan carding, hacking dan cracking.
Beberapa
masalah hukum yang teridentifikasi dalam penggunaan teknologi informasi
adalah mulai dari penipuan, pelanggaran, pembobolan informasi rahasia,
persaingan curang sampai kejahatan yang sifatnya pidana.
Kejadian-kejadian tersebut sering terjadi tanpa dapat diselesaikan
secara memuaskan melalui hukum dan prosedur penyidikan yang ada saat
ini. Tentunya ini merupakan tantangan bagi penegak hukum. UU ITE telah
sangat tegas mengatur secara tegas baik dari tata cara penyidikannya
hingga perluasan alat bukti[14]. Namun bagian terpenting adalah
implementasi di lapangan untuk penegakan hukum dalam kaitannya
beraktivitas di dunia maya.
Dalam hukum perdata dan bisnis,
urusan yang diatur dalam UU ITE adalah didasarkan pada urusan transaksi
elektronik yang meliputi transaksi bisnis dan kontrak elektronik.[15]
Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE tersebut adalah hal yang
berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari
Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi,
Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik[16]. Juga secara umum dikatakan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Disamping itu Pasal 5 ayat 1
s/d ayat 3, secara tegas menyebutkan : Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun dalam ayat (4) ada
pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang
menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam kaitannya dengan
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik, kewajiban
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik menjadi hal yang penting diatur
dalam UU ini, misalnya Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus
menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap
pengguna jasa, yang meliputi: a. metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi Penanda Tangan; b. hal yang dapat digunakan untuk
mengetahui data diri pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan c. hal yang
dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan Tanda Tangan
Elektronik[17]. Sedang, bagi Penyelenggaraan Sistem Elektronik,
Penyelenggara harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman agar Sistem Elektronik beroperasi sebagaimana mestinya.[18] Dan,
untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat, maka dalam UU ITE diatur
masalah berkenaan dengan transaksi secara elektronik. Hal ini untuk
menjaga hubungan antar pihak dalam menentukan rambu-rambu dalam
melaksanakan transaksi[19]
Urusan transaksi elektronik yang
diatur dalam Pasal 5 s/d 22 UU ITE merupakan inti dari masalah
keperdataaan dan bisnis. Urusan ini dalam peraturan pelaksanaan dan
peraturan teknisnya harus jelas dan detail, khususnya untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat, khususnya konsumen. Karena peluang
pelanggaran melalui tele-marketing, seperti pemberian informasi yang
benar; perlindungan untuk memperoleh produk sesuai dengan yang
dijanjikan atau ditawarkan; perlindungan untuk memperoleh kompensasi
akibat produk seringkali tidak sesuai dengan yang ditawarkan atau
dijanjikan.
UU ITE Dalam Sistem Hukum Nasional
Untuk
Indonesia, UU ITE (hukum siber) menjadi bagian penting dalam sistem
hukum positif secara keseluruhan. Adanya bentuk hukum baru sebagai
akibat pengaruh perkembangan teknologi dan globalisasi merupakan
pengayaan bidang-bidang hukum yang sifatnya sektoral. Hal ini tentunya
akan menjadi suatu dinamika hukum tersendiri yang akan menjadi bagian
sistem hukum nasional.
Hukum nasional sesungguhnya merupakan
suatu sistem. Menurut subekti sistem adalah suatu susunan atau tatanan
yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola,
hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan[20]. Dalam pola
pikir yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, Sistem terdiri dari
sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu
pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa
asas dan berinteraksi. Semua unsur/komponen/fungsi/ variabel itu terpaut
dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu,
sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas
utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah
Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain
seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan[21].
Sistem
hukum nasional pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah
atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga
aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan
budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat.
Dan, pembangunan Sistem Hukum Nasional menurut Prof. Sunaryati
sesungguhnya diarahkan untuk menggantikan hukum-hukum kolonial Belanda
disamping menciptakan bidang-bidang hukum baru yang lebih sesuai sebagai
dasar Bangsa Indonesia untuk membangun. Gambaran Sistem Hukum Nasional
yang mengutip dari Sumber: Sunaryati Hartono mengenai Pembinaan Hukum
Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia, yang disampaikan
pada pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 1991, adalah seperti
tertuang dalam gambar berikut[22] :
Berdasarkan pandangan
sistemik, Sistem Hukum Nasional mencakup berbagai sub bidang-bidang
hukum dan berbagai bentuk hukum yang berlaku yang semuanya bersumber
pada Pancasila. Keragaman hukum yang sebelumnya terjadi di Indonesia
(pluralisme hukum) diusahakan dapat ditransformasikan dalam
bidang-bidang hukum yang akan berkembang dan dikembangkan (ius
constituendum).
Bidang-bidang hukum inilah yang merupakan fokus
perhatian perkembangan dan pengembangan Hukum Nasional menuju pada
tatanan Hukum Modern Indonesia yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
(lingkaran terakhir), yurisprudensi (lingkaran keempat), peraturan
perundang-undangan (lingkaran ketiga), UUD 1945 (lingkaran kedua), dan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Bila dilihat
dari gambar di atas, khususnya pada lingkaran kelima, akan muncul
berbagai bidang hukum baru. Oleh karena itu Prof. Sunaryati
mengantisipasinya dengan menuliskan bidang hukum lainnya.
Mengutip
atas pandangan yang disampaikan oleh Prof. Sunaryati, tepat sekali
apabila saat ini telah benar terjadi dan hadirnya teknologi informasi
merupakan hasil konvergensi telekomunikasi, media dan komputer sehingga
muncul suatu media yang dikenal dengan internet. Atas itu lahirlah suatu
rejim hukum baru yang dinamakan dengan hukum siber. Dan, ini merupakan
suatu dinamika dari suatu konvergensi yang melahirkan hukum baru. Untuk
pembangunan hukum siber dari sisi substansi tentu harus pula
mengantisipasi berbagai bentuk perkembangan teknologi.
Jumat, 23 Oktober 2015
Pengertian Telematika Dan Dasar Hukumnya
09.45
No comments
0 komentar:
Posting Komentar